Masih perlukah bisnis printing pada masa serba online?
Sekitar 6 tahun yang lalu, saat saya masih SMA. Saya mengalami masa banyak sekali bahan design dari bagian dekdok (dekorasi/dokumentasi), -atau HPD, atau Pubdok,- yang perlu dibuat versi cetaknya. Mulai dari banner, standing/x-banner, map, pamflet, brosur, poster, dll. Sehari sebelum acara menjadi hari paling sibuk dalam memastikan semua komponen telah dicetak. Tidak jarang, para panitia harus menginap hingga larut malam di venue karena revisi dan bahan-bahan yang diprint masih banyak kesalahan. Kala itu, kami sangat bergantung pada percetakan dan printing 24 Jam.
Pada masa itu, beberapa orang -meskipun sedikit- mulai menggunakan media daring sebagai alat promosi. Istilah media partner pun berkembang dan semakin menjamur. (Meskipun secara teknis, media partner tersebut hanya sebatas repost di website atau sosial media milik mereka).
Beberapa tahun berselang, terjadilah pandemi Covid-19. Semuanya mengalami switching akibat pembatasan sosial dan program working from home (WFH). Budaya cetak-mencetak tiba-tiba harus mandek. Selama 2 tahun terakhir ini, mayoritas publikasi dan promosi beralih ke media daring. Semua menjadi dituntut untuk bisa membuat poster. Aplikasi seperti Canva akhirnya semakin populer karena kemudahannya tinggal drag and drop elemen yang dibutuhkan serta tidak perlu waktu lama untuk membuat media promosi yang bagus.
Sayangnya, fenomena ini justru membuat lini media sosial kita dipenuhi oleh banyak design dan gambar. Orang-orang mulai malas dan semakin malas untuk catchup terhadap jarkoman -atau broadcast- yang dikirimkan ke grup-grup. Terjadi peningkatan treshold interactiveness publik karena sudah terlalu tersensitasi dengan publikasi online yang masif.
Di saat sepinya penggunaan media offline, seperti billboard, poster, dll yang menggunakan jasa printing dan percetakan. Beberapa agensi periklanan malah memanfaatkan momen ini untuk menggaet perhatian masyarakat maya. Placement-nya di dunia nyata, tapi engagement-nya ramai di dunia maya. Sebuah strategi marketing yang berhasil dan sangat sukses. Karena kemudian, cara ini terus direcycle dalam berbagai bentuk. Salah satunya, memasang iklan indonesia di billboard Times Square. Dan kini, cara itu mulai menjemukan banyak orang.
Awalnya, saya menilai bahwa bisnis percetakan dan printing akan mati pasca pandemi. Karena orang-orang sudah mulai terbiasa dengan strategi pemasaran online. Akan tetapi, melihat pola-pola strategi marketing yang sangat dinamis belakangan ini membuat saya berpikir ulang. Bahwa kita sejatinya memiliki perasaan bosan dengan hal yang monoton. Jika saat ini bisnis percetakan dan printing sedang dalam masa paceklik. Percayalah bahwa beberapa waktu kedepan, bisnis ini akan kembali menemukan singgasananya.
Pola-pola recycle dan konsep siklus menjadi dasar bahwa potensi untuk tetap survive masih ada. Hanya saja, para pemilik bisnis harus lebih beradaptasi dan terbuka dengan kemungkinan-kemungkinan teknik pemasaran yang semakin bervariasi. Jika hanya diam dan memegang cara pikir konvensional, maka akan tertinggal kereta.
Selamat berpikir dan menemukan ide baru!
Ditulis oleh Afid Brilliana
Sabtu, 20 Nov 2021
Tidak ada komentar:
Berilah komentar yang bijaksana tanpa menyinggung perasaan orang lain.