Malam Penuh Hujan
Tik menitik...
Bunyi air berdetik jatuh dari bolongan atap rumah yang terbuah dari genteng tanah liat merah. Semakin lama interval antar air semakin merapat seiring hujan yang bertambah lebat di luar rumah. Belum ada plafon, sehingga air jatuh langsung mengarah ke lantai yang terbuat dari keramik berwarna putih. Semakin lama, air semakin meluber dan nyaris membuat genangan. Di beberapa pojokan rumah, di bagian sudut, dan di antara sambungan genteng juga ternyata turut menetes air. Di tembok rumah, air mengalir tanpa merasa bersalah membuat cat rumah berubah warnanya menjadi lebih gelap.
Di dalam rumah ini, tinggal seorang anak lelaki bersama ibunya. Mereka hanya berdua saja. Ibunya masih muda, berusia akhir kepala dua. Sebentar lagi menuju usia kepala tiga. Anaknya masih berusia 4 tahun. Masih kecil, baru bisa berjalan. Baru bisa berbicara.
Mereka hanya berdua. Di tengah hujan lebat. Sekarang malam hari. Sudah hampir jam 9 malam. Hanya diterangi lampu utama rumah yang berada di ruang tengah, mereka mulai saling mencari ember dan kain lap. Ember untuk menampung tetesan air. Kain lap untuk mengeringkan air yang terlanjur menggenang di lantai.
Ibu muda ini mulai kepayahan mengurus rumahnya seorang diri. Tak disangka, anak lelaki ini muncul di balik badan ibunya dengan membawa palu. "Ibu, ayo dibenerin gentengnya," kata anak tersebut. Ibunya hanya tersenyum. Pintar sekali anak lelaki ini. Masih belia tapi mau membantu ibunya. Mengerti sulitnya keadaan saat ini. Bahkan tanpa perlu disuruh ataupun diminta, anak ini langsung saja mengambil palu. Tingkahnya lucu, menggemaskan, dan lugu sekali. Ia tidak mengeluh, tidak merasa keadaanya saat ini sedang sulit. Anak ini merasa oh seperti ini lah hidup sesungguhnya. Ia belum mengomparasi nasibnya dengan orang lain.
Tiada tempat bersandar dan bergantung selain antara keduanya saja. Setelah merapikan dan membersihkan kekacauan akibat hujan lebat tersebut, mereka lantas beranjak menuju kasur untuk beristirahat. Ibunya begitu bersyukur dikarunia putra yang sangat memahami perasaannya.
Air hujan mulai berganti air mata. Keluarga ini hidup dalam kemiskinan. Rumahnya masih berupa rumah petak, masih berhutang KPR, pekerjaan juga sedang sulit-sulitnya karena penghasilan terbatas. Meski tidak dilingkupi oleh harta kekayaan, akan tetapi keduanya bahagia. Anak ini pun merasa bahagia tanpa peduli keadaan miskinnya mereka. Ia sudah merasa kaya, karena kasih sayang ibunya yang tulus dan terus diberikan kepadanya. Tidak mengapa miskin harta saat ini, toh ada banyak rasa sayang yang ia miliki. Ia anak pertama, semua sayang ditujukan kepadanya.
Anak lelaki tersebut mulai tertidur.
Ibunya justru kini sedang sedih, kalut. Seorang diri mengurus anaknya.
Ke mana kah suaminya?
Tidak ada komentar:
Berilah komentar yang bijaksana tanpa menyinggung perasaan orang lain.