Leluasa Bergerak dengan Rok Pendek - Kultur Jepang vs Indonesia

Semua orang tentu tahu bahwa seragam siswi sekolah di Indonesia berbeda dengan Jepang. Hal yang paling kontras terlihat adalah panjang rok mereka yang rata-rata 15 cm di atas lutut. Zaman dahulu anak-anak putri Jepang mengenakan kimono ketika bersekolah sehingga menyulitkan gerak-gerik dalam aktifitas terutama olahraga. Ibu Elizabeth Lee teringat model seragam yang dipakainya ketika belajar di Inggris, yaitu baju Sailor/Pelaut.

Tahun 1918, Ibu Elizabeth meminta seorang penjahit di Oota Toyokichi untuk menjahitkan baju atasan seragam anak-anak putri. Tetapi Baju sailor itu ternyata robek ketika dipakai berolah raga, maka Ibu Elizabeth menyarankan agar dipasang resleting di bagian kiri/kanan baju dari arah ketiak. Tapi kelihatannya resleting ini tidak lazim dikenakan.

Namun gerakan anak-anak tetap terhambat karena rok yang mereka pakai masih berbentuk lurus panjang. Ibu Elizabeth pun penjahit mendapat ide membuat rok berlipit-lipit setelah melihat gorden yang tertiup angin yang dapat kembali ke bentuk semula. Akhirnya dibuatlah rok lipit-lipit. Tapi lambat laun rok yang dipakai siswi-siswi Jepang semakin pendek.

Ide pokok diatas sangat masuk akal dan sesuai dengan realita seragam siswi di Indonesia. Namun, apakah pantas siswi sekolah Indonesia mengenakan rok pendek seperti itu di sekolah?

Menurut salah satu orang tua siswi, Umaidah mengungkapkan bahwa sekolah di Indonesia tidak bisa menerapkan kebijakan seragam seperti di Jepang. "Kultur kita berbeda dengan kultur Jepang. Etika, kepantasan, dan akibat yang ditimbulkan terhadap tingginya pelecehan perempuan juga menjadi alasan yang jelas," ungkapnya.

Senada dengan hal diatas, salah satu siswi SMPN 1 Arsel, Zaqiah Yuniati mengungkapkan bahwa apabila menggunakan rok berukuran mini akan menguntungkan laki-laki terlebih apabila saat musim berangin. "Dalam Islam juga dijelaskan agar kita tidak boleh menunjukkan aurat kita," ungkapnya.

(BPC/Afid Brilliana/SMPN-1 Arsel/B-4)